Minggu, 05 April 2009

G20 BUKAN JAWABAN ATAS KRISIS EKONOMI DUNIA:


STATEMENT INFID TERHADAP PERTEMUAN G20:

G20 BUKAN JAWABAN ATAS KRISIS EKONOMI DUNIA:

DIBUTUHKAN TATA EKONOMI-POLITIK DUNIA YANG ADIL

Pertemuan G20 kembali digelar di London, Inggris pada tanggal 1-2 April 2009. Pertemuan ini dirancang atas prakarsa AS setelah negara-negara maju yang tergabung dalam G8 gagal menyelesaikan krisis ekonomi dan keuangan global. Krisis yang bersumber dari AS yang menelan kerugian senilai triliunan dollar AS telah memaksa AS untuk meminta bantuan pada negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia untuk ikut bersama-sama mencari jalan keluar atas krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah setelah krisis yang sama di tahun 1930-an.

Pertemuan G20 yang digelar baik di Washington, USA, tanggal 15 November 2008 maupun pertemuan para Menteri Keuangan di Horsham, Inggris, tanggal 14 Maret 2009 telah menghasilkan keputusan yang memastikan pasar bebas harus tetap bekerja. Sektor keuangan tidak boleh terganggu dan sistem keuangan global tidak berubah kecuali semua negara harus ikut menanggung krisis dengan memberikan stimulus fiskal dan dukungan pendanaan bagi perbankan. Pertemuan juga mendorong reformasi lembaga-lembaga keuangan internasional melalui penguatan kembali peranan IMF dan Bank Dunia terutama di negara berkembang terutama dalam hal peningkatan kapasitas pendanaan. Khusus Bank Dunia, fokus pinjaman diutamakan pada infrastruktur dan sektor keuangan, yang tidak lain untuk membantu operasi perusahaan-perusahaan transnasional di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Pertemuan G20 juga menolak proteksionisme sistem perdagangan, karena pasar bebas harus tetap berjalan dengan aturan yang baru. Kesepakatan-kesepakatan G20 ternyata sama sekali tidak menghasilkan perubahan apapun bahkan tak mampu menghentikan krisis financial yang sudah mulai makin menyengsarakan rakyat di negara-negara dunia ketiga.

Kegagalan Sistem Keuangan Dunia

Sistem keuangan dunia saat ini yang dimotori oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF serta ditopang oleh lembaga keuangan regional seperti ADB, African Development Bank dan Inter American Development Bank terbukti gagal mencapai misinya yakni mengatasi kemiskinan terutama di Dunia Ketiga. Selama lebih dari 60 tahun keberadaan lembaga-lembaga tersebut, jumlah penduduk miskin terus bertambah dan kesenjangan antara negara kaya dengan negara miskin semakin dalam, dan kerusakan lingkungan semakin meningkat. Ketergantungan negara-negara Selatan terhadap utang dan investasi jangka pendek dari negara-negara Utara semakin meningkat, baik pada lembaga-lembaga keuangan swasta maupun pada lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan IMF) tersebut di atas.

Ketika Indonesia dan negara di Asia lainnya seperti Thailand dan Korea Selatan menghadapi krisis ekonomi di tahun 1997, IMF terbukti gagal menyelamatkan Negara-negara tersebut dari krisis. Lebih dari itu, perubahan kebijakan ekonomi secara struktural dengan alasan pengetatan fiscal yang direkomendasikan oleh IMF, menjadikan sector-sektor strategis seperti air, telekomunikasi, kesehatan, pendidikan dijual murah ke perusahaan-perusahaan swasta asing. Lebih fundamental lagi, kontrol pemerintah atas sektor keuangan diminimalisir bahkan dihilangkan, yang ternyata menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dunia saat ini. Indonesia sejak krisis 1997/1998 telah dijebak masuk di dalam kerangka pasar bebas Meningkatnya produk keuangan dan transaksi derivatif telah ikut menghancurkan kekuatan keuangan negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Lembaga keuangan internasional terutama IMF memiliki andil besar dalam menciptakan krisis yang ada sekarang melalui kebijakannya terutama di sektor keuangan dengan meminimalkan pengawasan pemerintah terhadap produk-produk keuangan.

Keikutsertaan Pemerintah Indonesia Dalam Pertemuan G20 Tidak Bermanfaat Bagi Rakyat

Pada pertemuan tingkat menteri G20 di Sao Paolo, Brazil, pemerintah Indonesia malah mendorong peningkatan kapasitas pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional terutama dari Bank Dunia, IMF dan bank pembangunan lainnya dalam mengatasi krisis ekonomi saat ini. Pemerintah juga mendorong IMF untuk mereformasi prosedur pinjaman dengan menciptakan instrument likuiditas yang dapat dicairkan secara cepat dan tanpa prasarat bagi negara yang memiliki track records kebijakan yang baik (Depkeu, 2008). Sikap ini jelas-jelas melupakan dan mengingkari kenyataan bahwa lembaga-lembaga tersebut sejak dulu telah gagal mengatasi krisis. Hal ini menunjukkan bukti bahwa pemerintah Indonesia tidak belajar dari pengalaman dengan tetap menggantungkan sumber pendanaan dari lembaga keuangan internasional yang jelas-jelas tidak mampu menyelesaikan krisis ekonomi global. Pemerintah Indonesia menghendaki bangsa ini untuk terus bergantung pada utang bahkan dalam penyelesaian krisis sekalipun.

Pemerintah Indonesia dalam pertemuan di Horsam, Inggris, juga menyetujui adanya jaminan pembiayaan risiko gagal bayar utang korporasi swasta oleh pemerintha melalui lembaga keuangan internasional terutama Bank Dunia dan JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Beban utang swasta Indonesia yang jatuh tempo tahun ini mencapai RP 209,6 triliun (USD 22.6 milliar). Sementara pada saat yang bersamaan utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2009 ini mencapai kurang lebih RP 112,19 triliun yang terdiri dari RP 73,28 triliun pinjaman bilateral dan multilateral, dan RP 38,91 triliun untuk pembayaran surat berharga Negara (SBN). Belum selesai dengan kasus BLBI, yang tidak lain daripada pembayaran beban utang swasta oleh Negara, sekarang pemerintah hendak menciptakan BLBI tahap yang baru. Pembayaran utang swasta nasional ini pada gilirannya bukan untuk menyelamatkan sector swasta di dalam negeri tetapi untuk menyelamatkan lembaga-lembaga keuangan internasional.

Berkaitan dengan pertemuan G20 yang akan berlangsung di London tanggal 1- 2 April mendatang, INFID menyatakan:

1. Pertemuan G20 tidak akan menghasilkan tata dunia yang adil, bahkan sebaliknya akan menciptakan tata dunia yang semakin tidak adil. Negara berkembang dan tertinggal lainnya yang tidak tergabung dalam G20 dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak sama diabaikan peranannya. Padahal negara-negara inilah yang terkena dampak paling parah dari krisis yang seharusnya menjadi tanggung jawab AS dan negara-negara maju lainnya sebagai biang terjadinya krisis ekonomi dan keuangan saat ini. Seluruh negara harus diakui peranannya dalam pembentukan sistem ekonomi yang lebih baik, bukan hanya negara-negara yang tergabung dalam G20.

2. Menolak penguatan peran IMF dan Bank Dunia dalam penanganan krisis financial. Lembaga-lembaga multilateral ini telah terbukti gagal dan bahkan menjadi biang keladi krisis keuangan global. Dibutuhkan tata ekonomi-politik dunia yang baru yang berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, penghormatan atas hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan.

3. Mendesak PBB untuk mengambil peranan yang lebih besar dalam penyelesaian krisis, dengan syarat adanya reformasi di tubuh PBB dengan menghilangkan hak veto lima negara.

4. Kehadiran Presiden SBY dalam pertemuan G20 di London, 2 April 2009 adalah sebuah kesia-siaan dan memperlihatkan betapa patuhnya Presiden SBY kepada keinginan pemberi utang Indonesia ketimbang pada rakyatnya. Pertemuan G20 hanyalah pertemuan yang akan meneguhkan ketidakadilan struktur ekonomi dunia yang ada saat ini. Petemuan G20 ini tidak akan memiliki arti penting bagi Bangsa Indonesia selama liberalisasi ekonomi masih berlangsung, dan masih terus bergantungnya Indonesia pada utang luar negeri terutama dari Bank Dunia dan ADB, serta kebijakan-kebijakan ekonomi yang menjadi akar pemiskinan di Indonesia

5. Menolak jaminan pembiayaan risiko gagal bayar utang swasta oleh pemerintah. Utang swasta tidak seharusnya menjadi tanggungjawab publik dengan menggunakan uang negara. Apalagi utang swasta tersebut akan dibebankan dalam skema utang baru melalui lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF yang nantinya akan ditanggung seluruh rakyat Indonesia, yang sudah mulai merasakan dampak krisis ekonomi global ini. Seharusnya pemerintah mengambil prakarsa penghapusan utang-utang yang tidak memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

6. Menolak kesepakatan-kesepakatan bilateral yang berkaitan dengan skema perubahan iklim, yang akan memberi peluang pada kehancuran alam dan lingkungan Indonesia. Rencana kesepakatan bilateral antara Indonesia dan Inggris yang hendak mengembangkan bio-car yang akan membebani Indonesia untuk melakukan ekspansi produksi agrofuel yang akan dikuasai perusahaan-perusahaan Inggris seharusnya dibatalkan. Pemerintah Indonesia seharusnya hanya berkonsentrasi membendung dampak buruk dari krisis ekonomi global terhadap pemiskinan rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Comments

Photobucket